Hukum Tanah
Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di
daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Hukum Tanah Swapraja ini pada
dasarnya adalah hukum tanah adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan
sebagian diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Landasan hukumnya adalah
antara lain Koninlijk Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 474 tahun
1915 yang intinya memberi wewenang pada penguasa swapraja untuk memberikan
tanahnya dengan hak-hak barat serta Rijksblad Kesultanan 1918 No.16 jo 1925
No.23, serta Rijksblad 1918 No.18 jo Rijksblad 1925 No.25 dimana hak milik atas
tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi. Jadi hanya
orang pribumi saja yang dapat diberikan.
DI
Yogyakarta, Sultan merupakan pemilik tanah yang merupakan tanah Keraton. Rakyat
hanya punya hak sewa atau hak pakai dan biasa disebut magersari. Jika Sultan
menghendaki, sewaktu-waktu ia dapat mencabutnya kembali. Menurut sejarahnya,
hukum tanah diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk,
maupun tanah Keraton itu sendiri.
Tanah kas
desa di DIY merupakan pemberian dari pihak Keraton Yogyakarta. Karenanya,
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tanah kas desa dapat diselesaikan
dengan cara musyawarah sehingga pemanfaatan tanah tersebut dapat dilakukan
secara optimal. Sedangkan Tanah Keraton adalah tanah yang belum diberikan
haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik
Keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada
pihak Keraton.
Di DIY pada
awalnya tidak pernah ada tanah negara pada. Semua tanah negara di DIY adalah
tanah Sultanat, yang sejak kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah.
Selain itu, ada tanah milik Keraton Yogyakarta (Sultan Ground), dan tanah milik
Puro Paku Alam (Paku Alam Ground), yang sebagian saat ini digunakan oleh
masyarakat untuk bermukim atau berbudidaya dengan kekancing atau sertifikat hak
pakai dari Keraton dan Puro, tetapi bukan hak milik. Karena bersifat istimewa,
pertanahan DIY dengan demikian seharusnya juga tidak cukup diatur dengan UUPA,
melainkan harus dijabarkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Sri Sultan
Hamengku Buwono X mengatakan bahwa status tanah Sultan Ground dan Paku Alam
Ground adalah tanah ulayat (Tanah Adat) dan tidak dijamin oleh UUPA, sampai
sekarang status kepemilikannya dibuktikan surat yang dikeluarkan keraton, oleh
karena itu pemerintah pusat harus memperjelas kepastian hukum status tanah
milik keraton dan Paku Alam melalui sebuah Undang-Undang.
Terdapat pembabakan
pengaturan pertanahan di DIY menurut kronologi sejarah yang intinya adalah
sebagai berikut:
v Periode
pertama
Berlangsung
hingga tahun 1918, yakni saat dimulainya reorganisasi keagrariaan. Pada masa
kabekelan/apanage ini berlaku asas bahwa tanah adalah milik raja; sebagian
diantaranya diberikan kepada kerabat dan pejabat keraton sebagai tanah lungguh,
sedang rakyat hanya mempunyai wewenang anggadhuh (meminjam). Dalam hal ini
rakyat tidak memiliki hak hukum atas sebidang tanah, tetapi hanya sekedar
menggarapnya. Oleh karenanya zaman ini meru¬pakan zaman penderitaan bagi rakyat
kecil, dimana selain diharuskan menyerahkan sebagian hasil tanamnya, rakyat
masih diwajibkan bekerja di perusahaan-perusa¬haan pertanian.
v Periode
kedua
Ditandai
dengan dilaksanakannya perubahan dalam sistem pemilikan tanah tahun 1918 hingga
tahun 1950-an, pada masa ini raja melepaskan hak-haknya atas sebagian terbesar
dari tanah yang termasuk wilayahnya, yang kemudian menjadi hak milik pribumi
anggota masyarakat desa, dan diadakannya pembagian baru dari persil-persil
tanah untuk penduduk desa. Peraturan perundangan yang mengatur tentang proses
perubahan sistem pemilikan tanah ini adalah Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16
tanggal 8 Agustus 1918, yang beberapa pasalnya berbunyi sebagai berikut:
·
Pasal 3 (1)
Sakabehe bumi kang wus kapranata maneh kang wus terang dienggo uwong
cilik dienggoni utawa diolah ajeg utawa nganggo bera pangolahe, kadidene kang
kasebut ing register kelurahan, iku padha diparingake marang kalurahan anyar
mawa wewenang panggadhuh cara Jawa, dene bumi kang diparingake marang
siji-sijine kalurahan mau, bumi kang kalebu ing wewengkone kalurahan miturut
register kalurahan. (Semua tanah yang terletak dalam wilayah yang telah
diorganisir yang nyata-nyata dipakai rakyat, baik yang ditempati maupun yang
diolah secara tetap atau tidak tetap sebagaimana tercatat dalam register
kalura¬han, diberikan kepada kalurahan baru tersebut dengan hak
anggadhuh/inlandsbezitsrecht. Adapun tanah yang diberikan kepada masing-masing
kalurahan itu adalah tanah yang termasuk dalam register kalurahan).
·
Pasal 3 (2)
wewenange penggadhuh kasebut ingadeg-adeg ndhuwur iki kasirnaake menawa
saka panemune Bupati kang ambawahake bumine 10 tahun urut-urutan ora diolah
utawa ora dienggoni. (hak anggadhuh tersebut ayat 1 menjadi gugur/hapus jika
menurut pendapat Bupati yang membawahi dalam jangka waktu 10 tahun
berturut-turut tidak diolah atau tidak ditempati).
·
Pasal 4 Kejaba wewenange penggadhuh tumrap bumi
lungguhe lurah sarta perabot kelurahan tuwin bumi kang diparingake minangka
dadi pensiune (pengarem-arem) para bekel kang dilereni, iku wenang penggadhuh
kang kasebut ing bab 3 diparingake marang kalurahan mawa anglestareake
wewenange kang padha nganggo bumi ing nalika tumindake pembangune pranatan
anyar, wewenange nganggo bumi kang dienggo nalika iku, ditetepake turun
temurun, sarta siji-sijine kalurahan sepira kang dadi wajibe dhewe-dhewe,
dipasra¬hi amranata dhewe ngatase angliyaake bumi sajerone sawetara lawase
sarta angliyerake wewenange nganggo bumi mau, semono iku mawa angelingi pepacak
kang wis utawa kang bakal ingsun dhawuhake, utawa kang panin¬dake terang
dhawuhingsung. (Kecuali hak anggadhuh atas tanah lungguh lurah dan perabot
kelurahan serta tanah yang diberikan sebagai tanah pensiun para bekel yang
diberhenti¬kan, hak anggadhuh/inlandsbezitsrecht yang tersebut pada pasal 3
diberikan kepada kalurahan dengan melestarikan hak para pemakai tanah pada saat
berlakunya reorganisasi, hak pakai itu ditetapkan turun temurun (erfelijk
gebruiksrecht), dan kelurahan diserahi mengatur sendiri mengenai 'angliyaake'
tanah untuk sementara waktu (tijdelijke voorveending) dan 'angliyer¬ake' hak
pakai tanah (overdracht van dat gebruiksrecht), dengan mengingat peraturan yang
sudah atau akan ditetapkan kemudian.
·
Pasal 5 (1)
ing samangsa-mangsa ingsung kena mundhut kondur bumi sawatara bageyan
kang padha diparingake marang kalurahan mawa wewenang penggadhuh, menawa bumi
mau bakal diparingake marang kabudidayan tetanen iku bakal ingsun paringi
wewenang ing atase bumi mau miturut pranatan bab pamajege bumi, mungguh
laku-lakune kang kasebut ing ndhuwur iki bakal kapranatan kamot ing pranatan.
(Sewaktu-waktu hak anggadhuh/inlandsbezitsrecht yang diberikan kepada kalurahan
dapat ditarik kembali jika tanah itu diperlukan untuk perusahaan
pertanian/landbouw onderneming menurut aturan penyewaan tanah/grondhuur
reglement).
·
Pasal 5 (2)
padha anduweni bageyan bumi ing kalurahan kang bumine diparingake marang
kabudidayan tetanen kasebut ing ndhuwur iki, padha kena diwajibake anindaake
pegaweyan mawa bayaran tumrap kaperluane kabudidayen tetanen kasebut ing
ater-ater ndhuwur iki. Mungguh tumin¬dake ing pegaweyan mau tumeka ing wektu
kang bakal ketetepake ing tembe. (Orang-orang yang tanahnya diserahkan kepada
perusahaan pertanian itu dapat diwajibkan bekerja pada perusahaan tersebut
dengan menerima upah, sedang pelaksanaan pekerjaan itu sampai dengan waktu yang
akan ditetapkan kemudian). Pasal 6 Kejaba tumrap lelakon kang kasebut ing bab
5, ingsun ora bakal mundhut bumikang dianggo uwong cilik kang katemtoake ing
bab 3, menawa ora tumrap kaperluane ngakeh, semono iku mawa amaringi karugian
kang tinam¬toake dening Pepatihingsun, sabiyantu kalayan Kanjeng Tuan Residen
ing Ngayogyakarta, sawuse karembug dening kumisi juru taksir, dene panindake
kang bakal tinamtoake ing tembe kamot ing layange undang-undang Pepatihingsun.
(Selain untuk keperluan dimaksud pasal 5, Pemerintah tidak akan menarik kembali
tanah-tanah yang dipergunakan oleh penduduk, apabila tidak untuk kepentingan
umum dan dengan ganti rugi yang ditetapkan oleh Patih Kera¬jaan dengan persetujuan
Residen di Yogyakarta dan telah mendengar penda¬pat komisi taksir. Pelaksanaan
hal ini akan diatur kemudian dengan peraturan Patih Kerajaan).
·
Pasal 7 (1)
Bumi sak cukupe sabisa-bisane amba-ambane saproliman bumi kabeh kudu
lestari dadi milike kalurahan, kang sapisan minangka kanggo lung¬guhe lurah
sarta prabot kalurahan, kang kapindho dadi minangka pengar¬em-arem para bekel
sak alame dhewa kang kabekelane kasirnaake jalaran saka pembangune pranatan
anyar, kang katelu kanggo anyukupi kaper-luane kang tumraping akeh. (Sedapat
mungkin seluas-luasnya 1/5 tanah keseluruhan harus tetap dikuasai kalurahan,
pertama untuk lungguh lurah dan pamong, kedua untuk tanah pensiun bagi bekel
yang diberhentikan akibat reorganisasi, dan ketiga untuk mencukupi kebutuhan
kelurahan / kepentingan umum)
·
Pasal 7 (2)
Pambagene kanggo anyukupi kaperluan telung bab kasebut ing adeg-adeg
ndhuwur iki katindakake kalurahan sawise dimufakati Bupati kang ambawahake.
(Pembagian tanah untuk tiga keperluan tersebut diatas dilaksanakan kalurahan
setelah disetujui oleh Bupati yang membawahi).
Sehubungan
dengan perkembangan keadaan, maka beberapa ketentuan dalam Perda No. 12 Tahun
1954 ini diubah dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No.
184/KPTS/1980. Satu masalah lagi yang perlu dijelaskan dalam periode ketiga ini
adalah mengenai peralihan hak andarbe dari kalurahan dan hak pakai turun
temurun atas tanah sebagaimana diatur dalam Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16,
menjadi hak milik perseorangan turun temurun atas tanah sebagaimana diatur
dalam Perda No. 5 Tahun 1954. Menurut Perda No. 10 Tahun 1954, peralihan hak
seperti ini dilaksa¬nakan oleh pamong kalurahan bersama DPR kalurahan. Apabila
peralihan tersebut mengandung suatu perkara, maka dilaksanakan oleh DPR
Kalurahan, Ketua, Wakil Ketua, Penulis Majelis Desa dan pamong kalurahan dengan
mendengarkan keterangan lisan atau tertulis dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Dari pasal-pasal yang terdapat pada Peraturan Daerah-Peraturan Daerah di atas
dapat difahami bahwa desa mempunyai wewenang yang besar dalam masalah
pertanahan, termasuk peralihan hak atas tanah. Dengan demikian dapat dimengerti
mengapa sampai dengan tahun 1984 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di wilayah
DIY bisa dikatakan tidak berfungsi.
Terlihat
bahwa ada Dualisme penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak
diterbitkannya UU No.5/1960 (UUPA) yang mengatur secara detail mengenai
ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi Yogyakarta, UU tersebut
awalnya harus dikecualikan dan penerapannya
baru berjalan sekitar 24 tahun yang lalu. Namun hingga kini Yogyakarta masih
memberlakukan Rijksblad Kesultanan 1918 No.16 jo 1925 No.23, serta Rijksblad
1918 No.18 jo Rijksblad 1925 No.25 dimana hak milik atas tanah tidak diberikan
kepada warga negara Indonesia non-pribumi. Dualisme pemberlakuan hukum tanah di
Yogyakarta memang bisa dianggap hak istimewa Yogyakarta. Namun bila
keistimewaan dapat mengalahkan kewenangan hukum maka hal itu merupakan
persoalan serius bagi negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar